Berita Lokal
Akankah Papua lepas dari
Republik Indonesia? Semua syarat menuju des-integrasi Papua sudah terpenuhi.
Proses terjadinya des-integrasi itu sudah di depan mata. Kekuatan-kekuatan yang
menginginkan des-integrasi sudah terkonsolidasi.
Suatu
ketika jika terjadi campur tangan PBB, dan mengharuskan referendum bagi Papua,
maka nasib Papua seperti yang terjadi di Timor Timur yang lepas dari
wilayah Republik Indonesia.
Masalah
paling pokok atau mendasar di Papua, masalah keadilan. Di mana rakyat Papua
tidak mendapatkan keadilan. Terutama terkait dengan pembagian hasil sumber daya
alam mereka. Rata-rata rakyat Papua, sejak di jajah Belanda, sampai bergabung
dengan Indonesia, tidak mengalami perubahan nasib mereka, dan tidak mendapatkan
keadilan. Mereka tetap miskin. Masih banyak diantara mereka memakai koteka.
Irian
Barat yang di zaman Presiden Abdurrahman Wahid, sesuai dengan keinginan rakyat
di wilayah itu, kemudian diganti namanya menjadi Papua. Itu sebenarnya secara
de facto mengakui eksistensi gerakan yang menginginkan wilayah itu lepas dari
Republik Indonesia.
Irian
Barat yang sekarang menjadi Papua itu, sebuah hadiah dari Presiden Kennedy,
yang menekan penjajah Belanda, menyerahkan wilayah itu kepada Indonesia, dan
Indonesia masuk ke dalam geostragi Amerika di era perang dingin.
Di zaman Jenderal Soeharto
berkuasa, awal pemerintahannya, sebagai bakti dan penghormatan dia kepada
Amerika Serikat, maka menyerahkan "sesaji" kepada tuannya, berupa
tambang emas dan uranium, yang sekarang diberi nama : "Freeport", pelabuhan bebas.
Di
mana gunung di Timika, yang kala itu, dilihat dari udara, di malam hari,
seperti terpancar sinar berwarna emas yang sangat nampak, karena saking
banyaknya devosit emas, yang ada di Timika. Galian tambang itu, tidak diproses
di Indonesia, tetapi langsung di masukkan ke dalam kapal diangkut ke Amerika
Serikat.
Pemerintah
Indonesia tidak pernah tahu, dan tidak melakukan audit terhadap hasil
pengelolaan dan pengerukan tambang emas di Freeport. Berapa sebenarnya jumlah
emas dan uranium, yang sudah diangkut ke luar negeri itu nilai ekonomisnya?
Tetapi, yang jelas sumber tambang emas di Timika itu, memiliki kandungan yang
sangat besar devositnya.
Berapa
banyak emas yang digali dari bumi Timika itu, kalau dikoversi dengan nilai uang
dollar atau rupiah? Triliunan dollar. Jika dirupiahkan sudah sulit dihitung.
Terlalu besar nilainya uangnya. Tapi, semuanya uang itu kemana, jatuhnya?
Soeharto
berkuasa hampir lebih tiga dekade alias tiga puluh tahun. Freeport itu sudah
ada di awal pemerintahan Soeharto, dan ketika habis masa kontraknya
diperpanjang, dan diperpanjang lagi.
Uang yang berasal dari
tambang emas "Freeport" terlalu sedikit yang dinikmati rakyat
Papua. Berapa lama rakyat Papua bergabung dengan Indonesia? Berapa banyak
perubahan dan perbaikan kehidupan rakyat Papua? Berapa kemakmuran yang sudah
didapatkan dari tambang emas "Freeport" itu? Nothing.
Uang
dari tambang Freeport itu, pertama yang jelas menikmati asing, alias pengusaha
Yahudi Amerika, dan salah satu komisaris utama Freeport itu, mantan Menlu
Amerika Serikat, Henry Kissinger. Kedua, yang menikmati hasil tambang emas
Freeport itu, tak lain, para elite pejabat di Jakarta.
Mereka
yang paling "kenyang" dengan pembagian dari penjualan tambang emas
itu, dan mereka terus menikmati penjualan tambang emas Freeport. Karena itu,
ketika masa kontrak tambang emas Freeport itu habis, segera diperbarui lagi.
Entah sampai kapan?
Papua
propinsi yang paling kaya dengan sumber daya alam, tetapi propinsi yang paling
miskin. Tidak ada perubahan yang penting di wilayah itu. Di semua sektor.
Infrastruktur tak banyak mengalami kemajuan. Seharusnya, kalau
"share"nya (pembagianya) itu adil, ibukota Propinsi Papua, Jayapura,
bisa lebih megah dibandingkan dengan Jakarta. Dari mulai bergabung dengan
Repubilk Indonesia, zaman Soeharto, sampai SBY, tak nampak kemajuan. Papua
hanya menjadi sapi perahan bagi para elite politik di Jakarta.
Polisi
saja, dari laporan yang ada, sejak tahun 2009, mendapatkan dana dari Freeport,
tidak kurang $ 79 juta dollar, hampir satu triliun rupiah, hanya untuk
mengamankan Freeport. Tetapi, sekarang kondisi Timika, yang menjadi kota
kabupaten di wilalyah Freeport terus bergejolak. Kemudian, sekarang ditunjuk
Letnan Jenderal Bambang Dharmono, menjadi Kepala Tim Percepatan Pembangunan
Papua.
Menteri
Pertahanan Amerika Serikat, Leon Panetta, belum lama ini berkunjung ke Jakarta,
dan bertemu dengan sejumlah pejabat di Jakarta, dan menyinggung soal
Papua. Panetta berbicara soal kesejahteraan. Sementara itu, kelompok-kelompok
LSM, berbicara tentang pelanggaran hak asasi manusia. Terjadinya kekerasan di
Papua yang sangat eksesif (berlebihan) yang dilakukan aparat keamanan, dan ini
akan mempunyai implikasi yang serius.
Polisi
dan tentara di pakai oleh fihak perusahaan Freeport, menjaga keamanan, dan
mereka melakukan tindakan keamanan, dan deterren terhadap unsur-unsur yang
ingin menganggu Freeport. Tetapi, situasi itu berubah dan terjadi eskalasi yang
semakin luas, termasuk terbunuhnya Kapolres di wilayah itu oleh OPM (Organisasi
Papua Merdeka).
Dilemanya,
rakyat Papua merasa tidak puas, dan menginginkan Freeport menjadi milik mereka,
dan mereka memiliki hak penuh atas Freeport. Freeport menggunakan aparat
keamanan guna menghadapi kelompok-kelompok yang sekarang menginginkan hak-hak
mereka atas Freeport. Terjadi tindakan kekerasan.
Semua
itu, kemudian dimanfaatkan Amerika Serikat, mendorong terus terjadinya
kekerasan dan mendukung kelompok OPM melakukan operasi militer, dan terjadi
kekerasan, kemudian Amerika Serikat akan berbicara pelanggaran hak-hak sipil,
dan menuntut campur tangan PBB. Dengan begitu Papua akan lepas dari tangan
Indonesia. Inilah sebuah skenario yang dihadapi Indonesia tentang Papua. Mirip
yang terjadi di Sudan Selatan, yang kemudian lepas dari Sudan utara.
Nopember
ini di Bali akan berlangsung sebuah konferensi yang akan dihadhiri Presiden
Amerika Serikat Barack Obama, dan masalah Papua menjadi masalah yang sangat
serius.
Jika
Papua lepas dari tangan Indonesia, maka ini akan seperti teori domino, yang
akan berdampak terhadap wilayah lainnya di Indonesia. Karena potensi
di-integrasi itu sangat besar, akibat ketidak adilan. Di mana-maa.
Ketidak adilan itu disebabkan
karena faktor korupsi, dan ketamakan para pejabat di pusat dan di daerah yang
sudah sangat sistemik, di mana sekarang apa yang disebut dengan : "State
corruption", (korupsi negara) itu sudah menjadi nayata.
Apalagi,
di era partai politik, yang sekarang memegang kekuasaan, kekayaan negara telah
di kapling-kapling, dan melalui departemen, di mana para menteri yang berasal
dari partai politik itu, pasti dengan mudah akan membuat "deal"
dengan fihak asing menjual asset negara guna memenuhi pundi-pundi mereka,
khususnya untuk menghadapi pemilu.
Para
pemimpin partai politik sekarang mencari sandaran kepada negara-negara yang
dipandang kuat, seperti Amerika Serikat, dan mereka pasti menjadikan Amerika
Serikat sebagai patron (tuan) mereka.
Maka,
tambang emas di Timika, tambang minyak di Cepu, Batubara di Kalimantan, dan
sejumlah tambang lainnya, di Sumbawa Sulawesi, dan Sumatera itu, mereka jadikan
"sesaji" bagi tuan mereka di Washington.
Rakyat
seperti di Papua hanya menikmati kemelaratan mereka, dan sebagian mereka masih
hidup nomaden dan menggunakan koteka.
Sementara
elite politik mereka menikmati kelezatan dari kekuasaan mereka, dan hasil
menjual kekayaan negara kepada fihak asing. Mereka akan menyambut dengan senang
hati kedatangn Barack Obama di Bali. Wallahu'alam.
Sumber : eramuslim | arsip | Kamis, 03/11/2011
...***Brigade Al-Karamah***...
suarAsia.blogspot.com
No comments:
Post a Comment