Berita Lokal
Beberapa minggu terakhir ini,
publik dikejutkan dengan beberapa isu menarik di sekitar Papua dan perusahaan
tambang emas Yahudi Amerika terbesar di dunia, Freeport. Sayangnya, tidak
banyak yang melihat isu-isu yang berkembang tersebut sebagai satu kesatuan yang
utuh. Melainkan, hanya potongan-potongan mozaik yang multi tafsir.
Beberapa
isu yang mencuat belakangan terakhir tentang Freeport, Papua, dan Organisasi
Papua Merdeka atau OPM antara lain, bentrokan aparat dengan pegawai Freeport
yang berdemo, bentrokan aparat di acara kongres OPM, terbunuhnya Kapolsek Mulia
oleh orang tak dikenal, dan paling akhir, skandal bantuan pendanaan operasi
keamanan oleh Freeport kepada aparat kepolisian.
Jika
penggalan isu ini dilihat dari sisi yang berserakan, terlihat seperti isu
biasa. Dan anehnya, kalau isu itu suatu hal yang biasa sebagaimana yang pernah
beberapa kali terjadi sebelum ini, kenapa orang sekaliber menteri pertahanan
Amerika buru-buru datang ke Indonesia. Dan tak lama lagi, Presiden Obama pun
dikabarkan akan menemui SBY dan jajarannya di Bali. Ada apa sebenarnya?
Freeport dan Sejarah Rezim Penguasa di Indonesia
Untuk
bisa melihat fenomena besar yang terjadi di Papua, sulit menangkap secara utuh
apa sebenarnya yang terjadi jika tidak melihat rangkaian perjalanan perusahaan
tambang asing pertama di Indonesia, Freeport.
Bisa
dibilang, Amerika sudah membidik gunung Ertsberg di Timika Papua jauh sebelum
Indonesia merdeka. Sejak tahun 1936, telah berlangsung ekspedisi Colijn yang
akhirnya menemukan Ertsberg. Butuh sekitar 24 tahun bagi Amerika untuk meneliti
temuan tim ekspedisi ini tentang adanya kandungan emas yang luar biasa.
Pada
tahun 1960, ekspedisi lanjutan pun dilakukan dan dipimpin langsung oleh tim
dari Freeport yang dikomandani Forbes Wilson dan Del Flint untuk memastikan
kedahsyatan nilai kekayaan yang dikandung Ertsberg.
Untuk
memuluskan langkah menguasai Ertsberg, Amerika bahkan mengkhianati sekutunya
Belanda untuk memaksa negeri kincir angin itu menyerahkan Papua Barat kepada
Indonesia. Boleh jadi, Amerika menilai akan lebih mudah bernegosiasi dengan
penguasa Indonesia yang dinilai belum melek sumber daya alam daripada penjajah
Belanda yang sama rakusnya dengan Amerika.
Ternyata,
dugaan Amerika salah. Setelah pada tahun 1963 terjadi serah terima Nederlands
Nieuw-Guinea dari pihak Belanda ke PBB yang kemudian menyerahkan kepada
Indonesia, rencana tambang Freeport Amerika ternyata terganjal oleh kebijakan
rezim Soekarno.
Butuh
dua tahun bagi Amerika untuk menyingkirkan Soekarno dari kursi kekuasaan di
Indonesia. Pada tahun 1965, Soekarno terguling dan digantikan Soeharto dengan
rezim Orde Barunya yang efektif mulai berlangsung pada tahun 1966.
Kebijakan
ekonomi apa yang pertama kali dilakukan rezim baru Soeharto? Hanya beberapa
bulan setelah dilantik menjadi presiden, Soeharto mengundang Freeport untuk
membicarakan kontrak pertambangan di Ertsberg. Pada tahun 1967 itu, keluar
kebijakan pertama tentang pertambangan di Indonesia. Yaitu, UU no. 1/1967.
Bahwa PT Freeport sebagai kontraktor ekslusif yang berhak melakukan
pertambangan di Ertsberg selama masa 30 tahun dengan luas areal tambang sekitar
10 kilometer persegi.
Nasib
Soeharto pun ternyata tak jauh beda dengan Soekarno. Karena setelah usai 30
tahun kontrak dengan PT Freeport yang jatuh pada tahun 1997, posisinya berada
di ambang kejatuhan. Beberapa bulan setelah itu, Soeharto tumbang dan berganti
dengan rezim Reformasi.
Sulit
membuktikan apakah ada hubungan yang erat antara kejatuhan rezim Orde Baru
Soeharto dengan selesainya masa kontrak pertambangan antara Indonesia dengan
Freeport. Tapi, waktunya begitu berhimpitan dan sulit untuk tidak mengatakan
adanya keterkaitan dengan manuver Amerika di Indonesia.
Awalnya,
orde Reformasi seperti berputar-putar di antara kelompok reformis dan Islamis
yang tentunya tidak diinginkan Amerika. Butuh beberapa tahun buat Amerika untuk
memantapkan penguasa baru yang benar-benar berpihak pada Amerika dan Freeport.
Pada tahun 2004, SBY pun terpilih dengan kemenangan yang begitu fantastis. Dan
jauh lebih fantastis lagi di pemilu berikutnya di tahun 2009 yang mencapai
70-an persen.
Semua
misteri tentang kecurigaan adanya kecurangan pemilu dan teknologi komputerisasi
seperti terkubur dengan aneka isu yang terus-menerus dan sistematis muncul dan
tenggelam. Kemungkinan munculnya kekuatan Islam pun sedemikian rapinya dikelola
untuk tidak akan menang. Dan kalau pun akhirnya muncul, sulit mendapat
dukungan. Isu terorisme yang menyimpan misteri soal bahan baku dan pembuatnya
seperti begitu meyakinkan tidak akan adanya kekuatan Islam yang didukung
masyarakat. Karena masyarakat dibuat trauma dan takut dengan sosok Islamis.
Babak Baru ‘Permainan’ Amerika di Papua
Dalam
tiga bulan terakhir ini, US House of Representatives, telah mengagendakan agar
DPR Amerika tersebut mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT
(FRAA) yang secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua. Dengan kata
lain, Amerika akan memainkan kartu terakhir berupa kemerdekaan Papua untuk
mengamankan kepentingannya di Freeport.
Yang
menarik, pemrakarsa RUU tersebut berasal dari Partai Demokrat Amerika yang saat
ini memimpin kebijakan Amerika, termasuk di Papua. Pertanyaannya, apakah
Amerika merasa cukup dengan peran SBY yang boleh jadi dinilai lemah melindungi
Freeport?
Jika
dihubungkan dengan munculnya RUU tersebut, boleh jadi, Amerika akan mengarahkan
operasi intelijennya ke target kemerdekaan buat Papua. Dengan begitu, segala
hal yang terjadi belakangan ini di Papua merupakan prakondisi menuju ke arah
itu.
Bocoran
tentang dana Freeport yang mengalir ke aparat keamanan yang totalnya sekitar
791 milyar rupiah sejak tahun 2001, bisa jadi bagian dari prakondisi itu. Efek
dari bocoran tersebut tidak bisa dibilang ringan kepada prajurit di lapangan
yang berhadapan langsung dengan kondisi Papua. Dengan kata lain, akan ada
krisis kepercayaan antara aparat di lapangan dengan yang dipusat.
Kalau
soal pendanaan ini dikaitkan dengan sektor lain selain keamanan, cakupan
pertanyaannya akan meluas. Berapa dana Freeport untuk lingkungan yang disetor
ke pusat? Begitu pun dengan dana-dana lain yang semuanya kembali ke pusat.
Krisis kepercayaan ini akan menyulut kemarahan massif antara aparat keamanan
dan birokrat lokal Papua dengan pemerintah pusat. Dan kemarahan rakyat Papua
secara umum tentu sudah hampir pasti akan terjadi.
Di
lain sisi, pamor SBY yang terus melorot akhir-akhir ini seperti dijadikan
momentum untuk membebaskan Papua dari ketidakadilan pemerintah pusat yang terus
dirasakan rakyat Papua hingga kini.
Jika
benar menurunnya pamor SBY sebagai momentum manuver Amerika di Papua, paling
lambat, ada dua tahunan lebih untuk memunculkan Papua merdeka sampai pemilu
2014 mendatang. Benarkah arah ‘permainannya’ ke situ? Waktulah yang kelak akan
menceritakan (Mnh/eramuslim/Arsip/berbagai sumber).