Translate

“Rasa takut terhadap manusia jangan sampai menghalangi kamu untuk menyatakan apa yang sebenar-benarnya jika memang benar kamu melihatnya, menyaksikan atau mendengarnya.” (HR Ahmad)

“Raja (pemimpin) dan agama merupakan dua sejoli, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, karena agama adalah pondasi sementara raja adalah penjaganya, jika tidak memiliki pondasi maka akan hancur, dan jika tidak memiliki penjaga maka nilai-nilai yang terkadung didalamnya (Islam, Iman, Ihsan) akan rapuh dan segera sirna”
Assalâmu'alaikum warahmatullâhi wa barakâtuh

jadwal sholat

Akan lahir dari ilmu:

kemuliaan walaupun orangnya hina, kekuatan walaupun orangnya lemah, kedekatan walaupun orangnya jauh, kekayaan walaupun orangnya fakir, dan kewibawaan walaupun orangnya tawadhu'

06 November 2011

[ 06/11/2011 ] Kisah “YU TIMAH”


RUBRIK 

Posted by: im_firman | 03 November 2011 | 08:55 PM

“YU TIMAH” 


SuarAsia - Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta. Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri. Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah.

Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.
Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya.
Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi terdampar di Jakarta. Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untung di kampung kami ada pesantren kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah.
Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.
Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
”Pak, saya mau mengambil tabungan,” kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.
”O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila Senin?”
”Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.”
”Mau ambil berapa?” tanya saya.
”Enam ratus ribu, Pak.”
”Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?”
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.
”Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.”

Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.
”Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?”
”Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama Ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging kurban.”
”Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.”
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak orangnya.
Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.
Lebih Baik memberi Dari pada menerima
(dicuplik dari RESONANSI – Republika Desember 2006/Ahmad Tohari)

No comments:

Mengapa bangsa Indonesia harus memberikan rasa kepedulianya terhadap Palestina?
Sedikitnya ada 5 alasan yang mendasarinya yaitu:
1. Palestina adalah tanah yang diwakafkan Umar Bin Khatab kepada Umat Islam
2. Palestina adalah tempat suci Umat Islam
3. Palestina adalah Qiblat pertama Umat Islam
4. Palestina adalah negeri Isra' Mi'rajnya Baginda Nabi Muhammad SAW
5. Palestina adalah alasan Historis, Palestina mendukung kemeredekaan Indonesia
"DEMI KEBANGKITAN ISLAM KAMI RELA BERKORBAN UNTUK ISLAM YANG MULIA"

PAHAM ZIONISME DAN ISRAEL

Teror... Peperangan, pengusiran dan pembantaian... Selama puluhan tahun hingga kini Al Quds bersimbah darah, air mata dan penderitaan... Namun sebelumnya, terdapat masa di mana Palestina menjadi teladan bagi perdamaian, kerukunan dan keadilan. Pemeluk agama yang berbeda hidup berdampingan sebagai saudara dan beribadah dengan semangat saling menghormati dan menghargai. Masa kedamaian ini terjadi dalam sejarah di masa pemerintahan Muslim. Kala itu, wilayah ini di bawah pemerintahan Islam setelah pengambil-alihan Palestina oleh Khalifah Umar pada tahun 637 M. Pemerintahan baru ini memperlihatkan toleransi besar terhadap kaum Nasrani dan Yahudi. Sebagaimana ajaran Islam, pemerintahan Muslim mengizinkan pemeluk agama lain untuk hidup sesuai agama mereka masing-masing. Kekhalifahan Utsmaniyyah mengambil alih wilayah ini pada tahun 1517 dan memperlihatkan toleransi dan keadilan yang sama sebagaimana pemerintahan Muslim sebelumnya. Mereka membangun suasana perdamaian dan kebebasan di wilayah yang masih menjadi teladan hingga kini. Berkat “sistem bangsa,” yang mengizinkan pemeluk agama berbeda untuk hidup sesuai keyakinan masing-masing, kaum Nasrani dan Yahudi menikmati lingkungan yang penuh toleransi, keamanan dan kebebasan di wilayah kekhalifahan Utsmaniyyah.