Ia berkeliling ke kampung-kampung, dari satu daerah ke daerah lain di Jawa Barat, dari Indramayu hingga Lebak, Banten, mengajak orang pada kesadaran agama dan kini jama’ahnya sudah ribuan. Bedanya dengan ustadz-ustadz lain yang kita kenal adalah bila mereka diundang ke masjid-masjid besar di kota, diundang ke Jakarta, dzikir nasional, datang berduyun-duyun, ustadznya berdiri di mimbar dan duduk di ruang yang nyaman, disorot televisi, populer dan dibayar. Ustadz yang satu ini, jauh dari suasana itu. Ia sendirilah yang datang berkeliling ke daerah-daerah dan kampung-kampung serta pelosok. Dialah yang mendatangi jama’ahnya sendirian tanpa ada yang membiayainya sepeserpun. Hotelnya adalah masjid, surau, tajug atau langgar. Ustadz muda ini membangun jama’ah yang bernama Jama’ah Taushiyah Syaghafan, pusatnya di Bandung. Ia tidak mau dikenal orang, dipuji dan menjadi populer. Popularitas baginya adalah godaan besar dalam berdakwah dan telah banyak merusak niat, mengotori hati dan membelokkan manusia dari keikhlasan berdakwah. Secara rutin, ia mengunjungi dan membina jama’ahnya di kampung-kampung. Tapi jangan salah, jama’ahnya bukan hanya orang-orang kecil. Kelas menengah, orang-orang kaya dan pejabat tinggi juga ada.
Dalam berdakwah, prinsipnya tak pernah mau dibayar sepeserpun. Uang puluhan juta sebagai amplop atau ucapan terima kasih, bahkan mobil dan rumah sebagai hadiah atau penghargaan lain dari orang-orang kaya yang disadarkannya dalam agama semuanya ia tolak. Padahal, ia orang yang kekurangan, jarang punya uang disakunya. Hidupnya benar-benar sederhana dan bersahaja. Penampilan biasa seperti pemuda kebanyakan. Memakai kaos atau kemeja dan tidak memakai asesoris keulamaan. Jauh dari kesan seorang Ustadz atau orang yang punya banyak kelebihan.
Ia sangat berpengaruh pada jama’ah yang dibinanya. Tangisan dan uraian air mata jama’ah adalah biasa saat mendengarkan nasehat-nesehat dan wejangan-wejangannya tentang kehidupan sehari-hari tapi menyentuh. Selain menyadarkan orang, ia juga membantu menyelesaikan masalah-masalah jama’ahnya dengan jalan keluar yang konkrit, tidak hanya nasehat dan anjuran seperti para mubaligh dan ulama lain. Ia juga mengobati berbagai penyakit pada orang yang ia tahu harus dibantu. Ia kuat tidak tidur dan menahan lapar berhari-hari. Ia mengetahui mana makanan yang bisa dimakan olehnya dan mana yang tidak. Itulah kekuatannya dan itulah yang membuatnya berpengaruh pada jama’ahnya, berpengaruh saat memberikan nasehatnya. Ia seorang hamba Allah yang sangat langka dan patut dicontoh. Dibawah ini adalah salah satu kisah menarik bagaimana ia menjawab persoalan jama’ahnya yang dipecahkannya secara konkrit.
* * *
Sambil agak malu-malu, ia bertanya, “Begini Pak Ustadz. Tadi Pak Ustadz menyinggung juga sedikit masalah poligami yang benar menurut tuntunan agama. Terus terang, ini nyambung dengan yang ada di hati saya. Saya kebetulan berniat menikahi seorang perempuan di desa ini. Saya sudah dekat dengan dia dan bersilaturahmi kepada orang tuanya. Orang tuanya sudah tahu dan menerima niat saya. Tapi, saya bingung menghadapi istri saya. Ia pasti akan menolak dan tidak menyetujuinya. Saya mohon nasehat Ustadz, gimana sebaiknya ya Pak? Saya bingung.”
Ustadz sahabat saya ini segera paham, ia berniat poligami. “Pak, poligami dibolehkan dalam agama. Tapi harus hati-hati, harus benar-benar menjaga niatnya. Niat, cara dan tujuannya harus benar. Naah, niat dan tujuan Bapak menikahi perempuan itu apa? Jangan karena nafsu, hanya karena cantik, menarik, dan perempuannya mau. Atau karena merasa Bapak banyak uang, nanti akan kacau rumah tangga Bapak.”
“Begini Pak Ustadz. Niat saya ingin menolong perempuan itu. Orangnya baik, shaleh, dari keluarga sederhana. Usianya sekitar 36 tahun tapi belum menikah juga. Saya ingin membantunya dengan sekalian saja menikahinya. Insya Allah, saya niatkan sebagai ibadah. Dengan pandangan yang sama bahwa nikah itu ibadah, dia mau menjadi istri kedua, dia siap. Saya juga Insya Allah mampu. Kan tidak salah Pak Ustadz?” Katanya sambil agak malu-malu. “Tapi, bagaimana menghadapi istri saya menurut Ustadz? Dia pasti menolaknya.”
Ustadz ini kebetulan memiliki kemampuan istimewa. Ia seorang yang kasyaf secara ruhani. Atas kemampuan bacaan ruhani seorang mukasyafah, orang modern menyebutnya “the six sense.” Ustadz ini bisa melihat aura seseorang dengan mudah. Dari auranya, ia bisa mengetahui karakter asli seseorang termasuk bohong tidaknya. Aura si Bapak ini bagus, orangnya jujur, agamanya bagus, mendidik istri dan keluarganya juga bagus. Ia berwibawa di hadapan istrinya dan istrinya pun hormat padanya. Ustadz itu tahu, orang ini perlu dibantu. Aura rumahnya pun bagus, ia membaca ada kelancaran atas niat si bapak ini. Disisi lain, si Bapak ini orang berada, kehidupan ekonominya maju.
“Begini Bu, jangan kaget yaa… Ibu tenang saja, jangan emosi, ada saya disini. Ada kabar yang mungkin mengagetkan dan tidak enak buat Ibu. Tapi, segala sesuatu bisa dimusyawarahkan dengan baik. Buu…, tadi saya mendengar sendiri dari Bapak. Bapak, suami Ibu ini, punya niat menikahi seseorang. Niatnya baik dan mulia, ia ingin membantunya menolong orang itu. Niat baik itu tidak boleh dihalangi. Menghalangi niat baik seseorang bisa menjadi dosa buat kita. Nah, niat baik itu dari siapapun harus dibantu. Insya Allah menjadi ibadah buat kita selama kita ikhlas membantunya. Dalam hal niat bapak ini, ibu pasti berat, tapi disitulah nilai ibadahnya. Berbuat ikhlas itu berat tapi disitulah keutamaaanya. Nah, bagaimana pandangan dan sikap Ibu? Silahkan jujur dan terbuka disini. Mumpung ada saya, silahkan ungkapkan hati Ibu apa adanya kepada Bapak. Jangan merasa ada paksaan dan jangan merasa terpaksa.” Kata Ustadz meyakinkan.
Kebetulan, istrinya ini seorang istri yang baik. Suaminya juga sama, memiliki wibawa di depan istrinya. Pak Hasan membimbing agama di keluarganya dengan baik. Secara ekonomi, selama ini si Ibu dan anak-anaknya tidak merasa kekurangan bahkan terbilang lebih dibanding tetangganya sekitarnya. Pengaruh Ustadz itu disitu mengendalikan suasana menjadi terbuka, terus terang dan terkendali. Tidak ada luapan emosi dan kemarahan.
“Maafin Bapak ya Mah… Bapak tidak berniat mengurangi kasih sayang dan perhatian pada Mamah dan keluarga. Tidak. Bagi Bapak, Mamah dan anak-anak tetap nomor satu. Bagi Bapak, keluarga adalah harta yang sangat berharga. Bapak sayang sama Mamah dan anak-anak. Bapak tergerak hati untuk menolongnya. Kebetulan dia mau. Jadi syukur, tidak juga tidak apa-apa. Bapak terserah takdir Allah saja. Niat Bapak mudah-mudahan menjadi ibadah. Mamah ridha kan…?? Gimana Mah, Mamah mengizinkan tidak?”
Tiba-tiba, “Khuaa…huu…huu…” Istrinya menangis di pangkuan suaminya, ia meraung dan terisak. Melihat itu, si Bapak pun tak kuat membendung air matanya. Ia pun menangis sambil memeluk istrinya. Keduanya menangis dalam pelukan haru mengekspresikan isi hatinya yang berat. Ustadz pun tak kuat menahan perasaannya. Hati si Ibu tampak sangat berat, tapi ia sedang berjuang mengalahkan beban perasaannya. Dari auranya, Ustadz Ahmad membaca, istrinya ini adalah tipe istri yang taat dan hormat pada suaminya. Ustadz bergumam dalam hatinya: “Biarkan saja pada menangis, memang harus begini prosesnya.”
Setelah tangisnya agak reda, lama si Ibu masih belum menjawab. Lidahnya seolah terkunci. Ia berfikir dan perasaannya bercampur. Menjawab “tidak” ia segan pada suaminya dan khawatir menjadi masalah ke depannya. Sebagai istri, ia bergantung penuh suaminya. Suaminya selama ini adalah suami yang baik. Ia adalah pemimpin rumah tangga yang harus ditaati. Selama ini, ia tidak pernah membangkang. Buat apa rajin ke pengajian kalau ia menjadi seorang istri pembangkang. Ia takut durhaka. Ada juga bayangan ketakutan suaminya ini suatu saat main belakang dengan perempuan lain, bila ia menolaknya. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Ia juga merasa segan pada Ustadz Ahmad yang berwibawa yang telah menjadi penyambung lidah suaminya. Tapi, menjawab “iya,” hatinya merasakan berat. Suaminya dan Ustadz Ahmad masih menunggu. Setelah agak lama, Ustadz bertanya lagi perlahan, “gimana Bu? Ibu bersedia? Rela?”
Ustadz Ahmad berfikir, untuk sementara biarlah tidak apa-apa. Wajar. Ikhlas itu memang berat. Tapi, justru disitulah nilai ibadahnya. Mengalahkan rasa berat yang mengganjal dihati demi kebaikan adalah perjuangan untuk mewujudkan keikhlasan. Itulah pengorbanan berat yang akan mendatang ridha Allah.
“Bu, istri-istri Rasulullah saja merasa berat dimadu. Mereka juga sama perempuan. Tapi mereka bisa mengalahkan perasaannya. Itulah contoh buat kita. Agama juga memerlukan pengorbanan rasa. Kalau tidak ada pengorbanan rasa tidak akan ada keagungan. Mengalahkan rasa berat dan berkorban perasaan demi kebaikan dan demi ketaatan kepada Allah adalah keagungan. Inti perjuangan itukan mengalahkan rasa berat, mengalahkan godaan, mengalahkan egosime. Kalau agama tanpa pengorbanan tidak akan ada ibadah, tidak akan ada perjuangan, tidak akan ada keutamaan. Itulah yang membuat kita tinggi dan mulai di sisi Allah SWT. Naah… mari, usaha mewujudkan keikhlasan dan tekad mengalahkan nafsu itu kita mulai sekarang mumpung ada kesempatan. Jadikanlah ini sebagai ibadah ibu, justru ini ibadah ibu yang besar karena sanggup mengalahkan rasa berat. Ibu bisa saja menolak menjawab “tidak mau” untuk menuruti rasa panas hati ibu, tapi itu hati yang kerdil. Selama niat dan tujuan suami baik, bisa tidak kita justru membantunya bukan malah menghalanginya. Bapak caranya baik kepada Ibu dan ibu membalasnya juga dengan baik. Tanpa terasa, ini adalah saling memberi kebaikan antara Bapak dengan Ibu. Inilah suami istri yang diridhai Allah SWT.”
“Pak,” Ustadz Ahmad menggilirkan nasehatnya pada suaminya yang tampak sedang menyembunyikan rasa senangnya, “ingat Bapak jangan dulu senang dengan penerimaan istri Bapak. Tugas bapak justru lebih berat sekarang. Bapak harus menjaga niat, jangan sampai berubah. Sekali niat Bapak melenceng bukan karena Allah nanti akan menjadi nafsu. Nafsu menggoda kita dengan cara yang sangat halus, sangat tidak terasa. Niat yang lurus akan mengontrol Bapak dari melakukan kesalahan dan kekeliruan. Tapi dasarnya salah dan niatnya nafsu, akan menghancurkan kehidupan Bapak. Sudah banyak contoh Pak, orang yang poligami menjadi hancur keluarganya karena dasar dan niatnya salah. Bapak jangan membayangkan kesenangan, tapi tanggung jawab yang berat di hadapan Allah kelak bila Bapak tidak adil. Adil itu proporsional Pak, terutama dalam rasa, bukan materi. Bapak tidak mungkin adil dalam materi karena Bapak sudah lama berumah tangga dengan Ibu. Ibu sudah banyak menerima nafkah dan materi dari Bapak. Tapi dalam rasa, Bapak harus menjaga keseimbangan. Momen yang baik sekarang ini harus menjadi langkah awal menciptakan keluarga yang lebih baik lagi, yang sakinah mawaddah warahmah. Ini harus menjadi langkah awal Bapak lebih baik lagi berkomunikasi dengan ibu, kalau perlu lebih harmonis lagi, lebih sayang dan lebih perhatian dari sebelumnya. Rumah tangga bapak yang sakinah harus dimulai dari pertemuan sekarang ini, karena langkah ini dimulai dengan cara yang baik. Tidak boleh lagi ada kebohongan atau dusta antara ibu dan bapak. Segalanya bicarakan dengan musyawarah. Jangan berat sebelah. Ingat, tanggung jawab Bapak sebagai kepala rumah tangga semakin berat dengan dua istri. Allah akan meminta pertanggungjawaban Bapak kelak.”
“Ibu,” kata Ustadz Ahmad lagi, “Ibu juga harus menerima kenyataan ini. Ibu harus membuktikan keikhlasan ibu, jangan hanya di mulut. Jangan hanya sekarang karena ada saya, kesananya tidak. Ibu sekarang tidak bisa merasa lebih memiliki Bapak. Ibu harus menerima kenyataan bahwa sekarang ada istri lain yang memiliki Bapak. Ada istri lain yang harus diperhatikan. Ibu harus menerima dan ikhlas dengan pergiliran waktu. Mari saling menjaga, saling memperhatikan, saling menyayangi, saling mengerti dan saling memaafkan diantara kita. Insya Allah rumah tangga Ibu dan bapak akan sakinah.” Sekitar 15 menit Ustadz Ahmad memberikan nasehat pada mereka berdua. Ustadz itu merasa sudah membawa mereka pada rumah tangga poligami, maka ia pun harus benar-benar membekalinya, tidak bisa asal-asalan, jangan kesananya jadi hancur. Mereka berdua khidmat mendengarkan, tidak berani menyanggahnya, karena memang tidak perlu ada yang disanggah.
* * *
Saat berjalan, calon istri keduanya kaget, bergetar dan ketakutan. Perasaan bersalah menghinggapinya. Bisa dibayangkan, ia diundang oleh Ustadz Ahmad ke rumah Pak Hasan yang selama ia menjalin hubungan dengannya. Ia merasa akan disidang karena merasa telah mengganggu rumah tangga orang. Apalagi, disitu ada istrinya Pak Hasan. Tapi, ketika menjemputnya, rupanya Pak Hasan berhasil meyakinkannya bahwa ia diundang justru Ustadz Ahmad akan memenuhi harapannya diperistri Pak Hasan.
“Nah, sekarang sudah kumpul. Disaksikan ibu, bapak sekarang silahkan utarakan maksud Bapak kepada Aisyah!” Instruksi Ustadz itu. Sambil merasa berat karena disaksikan istrinya, Pak Hasan berkata, “Neng, maafkan Bapak ya… Bapak ingin mewujudkan niat kita itu. Dari pada kita sembunyi-sembunyi, daripada kita tertutup mendingan terbuka begini. Selesai pengajian tadi, Bapak nanya sama Pak Ustadz Ahmad meminta nasehat jalan keluarnya. Ternyata Pak Ustadz menyelesaikannya dengan jalan seperti ini. Benar-benar diluar dugaan. Tapi, Bapak merasa lega sekarang karena istri bapak sudah mengijinkan. Tapi, Bapak terserah Neng, mau syukur, tidak juga tidak apa-apa. Bagaimana, Neng menerima Bapak tidak?”
Si Ibu juga berat, lidahnya terasa kaku. Sangat susah ia megeluarkan kata-kata. Walaupun sudah menerima, perasaannya masih tidak menentu. Ia kemudian menangis lagi. Nafasnya tersengal. Ia sedang berjuang mengalahkan perasaannya. Kedua perempuan ini duduk berhadapan. Ia sudah menyatakan rela atas keinginan suaminya yang berarti ia harus menerima perempuan muda yang ada dihadapannya itu. Kemuliaan perempuan ini lebih besar dari egoismenya memiliki penuh suaminya. Ketaatannya sebagai istri telah mengalahkan nafsunya untuk mengikuti bisikan menolak niat suaminya. Kerelaan dimadu adalah kekuatan mengalahkan diri sendiri. Dan itu berat. Karena itu hanya sedikit perempuan yang sanggup menerimanya. Kebanyakan adalah perempuan biasa, yang dengan kesadaran umum ia menolak mentah-mentah bahkan tak sungkan-sungkan memilih cerai daripada dimadu. Kekuatan diri dan kebesaran jiwa tidak dibentuk oleh tingkat pendidikan dan pergaulan modern melainkan oleh sikap penerimaan, keikhlasan dan kepasrahan yang tinggi melalui tempaan pengalaman hidup. Bu Hasan sedang menunjukkan kekuatan itu pada perempuan muda dihadapannya. Sambil terisak, ia berkata berat: “Te.. rus… tee… raang… huu…hhuu…hiks….hiks. Ibu kira bukan Eneng orangnya. Hik…hik…hiks… Ibu sering melihat Eneng. Ibu bukan Eneng… Tapi, ya sudaah… Ibu pesen saja… kita urus sama-sama si Bapak ya Neng… Eneng jangan sayang sama Bapak saja… Eneng harus sayang juga sama keluarga dan anak-anak ya Neeng … hik…hik… hiks…”
* * *
Suami istri itu kaget dan bingung. Mereka celingukan. Langkah ustadz itu benar-benar diluar dugaan. Ia memberikan tugas berat terutama bagi bu Hasan. “Menjemput mertua calon maru? Mertua istri muda? Aakhh… betapa beratnya,” bayangan Bu Hasan. Bila menggunakan nafsu, ia ingin mengatakan, “enak benar si Bapak! Sudah diizinkan, dijemput lagi oleh Ibu lagi. Kira-kira dong Pak!! Pakai perasaan.” Itulah fikiran yang diliputi hawa nafsu. Tapi tidak begitu menurut kebenaran. Yang benar adalah para orang tua ini memang harus hadir mengetahuinya karena ini pernikahan poligami, yaitu suami beristri menikah lagi dan diizinkan oleh istrinya. Suasana saat itu sudah tenggelam dalam ketaatan pada Ustadz yang mengatasi masalah pelik ini. Langkahnya dari awal sudah meyakinkan. Permintaah Ustadz Ahmad tidak mungkin dibantah dan proses kemuliaan sedang berjalan, tidak mungkin dimentahkan. Tidak mungkin ada penolakan. Kesediaan mereka berdua menerima istri muda harus dituntaskan. Suami istri itu pun berjalan lagi keluar rumah menuruti instruksi Ustadz Ahmad.
Untung rumahnya tidak jauh. Pak Hasan mungkin agak gembira dalam hatinya. Tapi istrinya? Anda bisa membayangkannya sendiri. Ia harus dengan rela menjemput orang tua “pesaingnya,” seorang perempuan muda yang akan mengambil sebagian hati dan cinta suaminya. Tapi, lagi-lagi, perasaan itu tidak muncul, terhapus oleh kaharuan suasana dramatis sejak tadi siang. Malah, saat mulai melangkah, ada sebuah kesadaran halus hinggap ke kedalaman sanubari Bu Hasan: “Kalau saya sudah rela, kenapa harus merasa berat?” Ia pun terus melangkah. Betapa mulianya perempuan itu. Hari itu, kemuliaan dan ridha Allah sepenuhnya milik istrinya. Sepenuhnya berhak disandangkan pada istrinya sebagai pakaian kebesarannya, Bu Hasan yang berhati mulia.
* * *
Sekitar 20 menit, mereka datang berempat. Orang tuanya Aisyah tampak bingung dan tidak mengerti. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mereka memenuhi saja undangan Pak Hasan dan istrinya yang disebutkannya permintaan Ustadz Ahmad. Kedua orang tua Aisyah mengetahui Ustadz itu sering memberikan ceramah dan menjadi panutan di daerah itu. Ustadz itu misterius karena tak seorang pun dari ribuan jama’ahnya, termasuk di daerah itu, tak mengetahui jelas identitasnya, alamatnya, rumahnya dst. Yang mereka tahu, Ustadz itu datang jauh dari Bandung, masih muda, banyak keanehan, selalu datang sendirian dan tak membawa apa-apa, tidak pernah membawa kendaraan, sering berkunjung ke daerah itu dan memberikan pengajian yang berpengaruh pada jama’ahnya. Setelah itu menghilang. Sering datang lagi dalam waktu yang tidak terduga. Ustadz itu hanya pernah menceritakan bahwa statusnya sebagai pengajar di pergururan tinggi Islam di Bandung, tapi mengaku sebagai orang biasa-biasa saja. Begitulah ia dikenal jama’ahnya di pelosok-pelosok Banjar, Ciamis, Indramayu, Cirebon, Kuningan, Majalengka, Purwakarta, Cicalengka, Banjaran, Bandung dst, bahkan juga di daerah Jawa Tengah.
Ia berkeliling ke daerah-daerah itu membina jama’ahnya yang sudah ia bangun hingga masyarakat yang lokasinya sulit dijangkau kendaraan dan daerah pegunungan. Masyarakat yang ia bina sudah terikat dan mencintainya karena ketulusannya, kelebihannya dan keanehannya sekaligus. Mereka yakin, ustadz ini bukan orang biasa. Ketika ia tidak ada, mereka merindukannya. Dan ketika Ustadz itu datang, masyarakat saling memberitahu secara otomatis dan tak lama kemudian berkumpul. Saat-saat tertentu, jama’ah yang berkumpul bisa mencapai ratusan yang datang dari berbagai desa. Ustadz itu bila perlu berhari-hari ada di sebuah daerah. Yang jama’ahnya ketahui dari Ustadz Ahmad adalah keanehan tidak pernah mau menerima honor ceramah, kalaupun menerima ia minta langsung dibagikan ke fakir miskin yang ada disitu, jarang makan berhari-hari dan jarang kelihatan tidur. Bila berkumpul dua tiga hari, orang bisa membuktikannya ia tidak tidur selama itu. Yang keluar dari mulutnya selalu nasehat, kalimat-kalimat penyadaran dan ajakan pada kebaikan.
Sambil masuk ke rumah Pak Hasan, mereka berempat mengucapkan salam. Orang tua Asiyah itu semakin bingung melihat anak perempuannya ada disitu. Ada apa gerangan? Jangan-jangan niat Pak Hasan untuk menikahi anaknya terbongkar oleh keluarganya dan jadi masalah. Tempat duduk sudah diatur agar semuanya mendapat kursi. Mereka melingkar di ruang tamu yang saat itu menjadi sempit karena sekitar 15 orang berkumpul. Ada beberapa anggota keluarga Pak Hasan yang turut menyaksikan drama itu sejak awal. Anaknya Pak Hasan pun dihadirkan. Yang satu laki-laki masih usia SD, satu lagi perempuan usia SMA. Hari itu benar-benar hari yang istimewa. Sebuah peristiwa luar biasa dan amat langka sedang terjadi di rumah itu. Saat itu pukul 20.00 lebih 15 menit.
“Begini… Pak yaa…. buu…” Ustadz Ahmad agak tersenyum sambil membetulkan posisi duduknya, ia senang telah berhasil mengumpulkan para orang tua ini. Ia kemudian menceritakan yang sudah terjadi dari A sampai Z. “Sekarang, alhamdulillaah…. Pak Hasan sudah siap, Bu Hasan pun sudah tahu dan ridha walaupun masih terasa berat ya Bu…?? Hehehe….” ujar Ustadz melirik ke Bu Hasan. Bu Hasan hanya tersenyum lirih. “Aisyah pun sudah menerima kesepakatan Pak Hasan dan Ibu. Tadi mereka semua sudah berbicara langsung dan terbuka. Insya Allah ini akan menjadi barokah buat kita semua. Pernikahan ini Insya Allah akan menjadi pernikahan yang penuh barokah. Naah… Tapi bagi saya, pembicaraan dan keterbukaan antara mereka bertiga belum cukup. Untuk itulah saya mengumpulkan Bapak-bapak dan Ibu-ibu semuanya sekarang disini. Begitulah Paak, Buu, ceritanya …”
Kedua orang tua ini bingung. Harus bilang apa? Belum habis kekagetan mereka. Tapi mereka tampak berusaha menenangkan diri. “Terima kasih Pak Ustadz. Saya sungguh tidak menyangka dan tentu saja kaget sebagai orang tua. Hasan mau menduakan Titi, anak saya. Benar Ustadz, kami sangat kaget. Tapi, yaa… gimana lagi, terserah saja. Titi dan Hasan bukan anak kecil lagi. Mereka sudah pada dewasa. Kami sebagai orang tua merasa tidak berhak ikut campur pada keluarga anak saya. Yang penting, kamu Ti benar-benar siap dan sudah difikirkan matang-matang. Nak Hasan juga harus mikir masak-masak, apa benar-benar sudah siap dan sanggup adil dengan dua istri. Ingat, jangan sampai menelantarkan istri dan anak-anak gara-gara ada istri muda. Ibu dan bapakmu sih begitu saja. Ya bu ya?” kata mertuanya pak Hasan. Istrinya, hanya sedikit bicara dalam bahasa Sunda yang sederhana, datar dan cuek. “Ah, da kamu teh sudah pada tua. Ibu mah terserah saja. Asal jangan ditinggalkan saja sama suamimu. Makanya siap juga, kamu teh mungkin sudah memikirkannya.”
“Alhamdulillah… semuanya pihak di keluarga ini, tidak ada yang terlewat, sudah mengetahui dan memberikan pandangan dan persetujuannya. Bapak-bapak dan ibu-ibu keluarga besarm Pak Hasan yang saya hormati, beginilah seharusnya pernikahan poligami dijalankan. Kalau begini prosesnya kan enak ya ngga? Pak Hasan mengutarakan niat baiknya secara terbuka dan baik-baik pada istrinya. Istrinya tahu, menerima dan mengizinkan. Calon istri mudanya bertemu dengan istri pertama, saling merelakan, saling mengerti dan saling mendo’akan. Insya Allah menjadi barokah buat semuanya. Orang tua dari ketiga orang ini pun semuanya mengetahui, diminta do’a restunya, anak pun diajak bicara dan diminta pendapatnya. Tidak barokah bagaimana pernikahan kalau dijalankan seperti ini? Betul tidak Pak? Bu? Kalau orang menjalaninya seperti ini, Insya Allah, poligami tidak akan menjadi masalah, tidak akan buruk dalam pandangan orang dan keluarga bahkan akann mendatang rahmat dan kasih sayang Allah.”
“Banyak orang melakukan poligami dasarnya nafsu, caranya tidak benar dengan sembunyi-sembunyi, membohongi istrinya, berdusta pada keluarganya, perhatian, pemberian dan kasih sayangnya tidak seimbang. Atau, suaminya jujur dan terus terang, istrinya menolak mentah-mentah, pokoknya tidak mau. Akhirnya suaminya menjalaninya dengan sembunyi-sembunyi. Begitu ketahuan, ribut, sakit hati dan cerai. Kacaulah rumah tangga karena jauh dari tuntunan agama. Atau, istrinya menolak dan minta cerai karena suaminya belum benar sebagai kepala keluarga, tidak memberikan pendidikan agama. Membimbing keluarga dan membahagiakan istrinya saja tidak, sudah ingin kawin lagi. Belum caranya pun salah, tujuannya hanya mengumbar nafsu, tidak terus terang, caranya menyakitkan istri dan seterusnya. Ya wajar istrinya marah, menolak dan minta cerai.”
Pak Hasan diikuti istrinya dan calon istri keduanya menyalami mereka satu persatu. Dimulai kepada Utsadz Ahmad. Antara orang tua dan anak ini saling berangkulan dan berpelukan. Inilah puncak suasana yang paling mengharukan. Salaman dan pelukan mereka diiringi suara isak tangis. Saat bersalaman dan berangkulan satu persatu mereka semua tidak dapat menahan perasaannya. Akhirnya, semua yang hadir disitu tidak ada yang tidak menangis, semuanya menangis terharu. Ustadz Ahmad pun terisak menangis tak kuat dengan drama itu. Lingkaran itu adalah lingkaran tangisan dan banjir air mata. Semuanya tidak tahan mengekspresikan rasa harunya yang mendalam. Kedua anak Pak Ahmad pun sama. Bukan hanya suara isak tangis dan air mata, tapi kalimat-kalimat do’a dari para orang tua ini keluar dari mulutnya saat mereka merangkul anak-anaknya. Rangkulan dan tangis itu bukan hanya kepada Pak Hasan, bu Hasan dan Aisyah yang akan menjadi istri barunya, tapi juga antara para orang tua sendiri. Mereka saling merestui dan mendo’akan. Kalimat-kalimat do’a bergemuruh di ruangan itu, beterbangan naik ke angkasa, merobek langit dan membocorkan hujan rahmat dan ridha Allah ke rumah itu. Saat tangisan dan do’a para orang tua itu terungkap meridhai anak-anaknya, para malaikat penjaga ‘Arsy seolah pada berebut turun berhamburan menaburkan rahmat-Nya ke rumah itu.
Akhirnya disepakati, akad nikah diselenggarakan esok harinya. Pak Hasan diminta mengundang semua keluarga, tatangga-tetangga dekat, juga segera mengontak na’ib alias yang akan menikahkannya. Tempatnya di rumah itu juga. Ustadz malam itu tidak pulang, ia ditahan oleh Pak Hasan untuk menginap disitu. Biasanya, ia menolak dan mencari tajug atau langgar bilik yang sepi dan menghabiskan malamnya disitu dengan tidak tidur sampai pagi. Atau, biasanya ia mencari rumah gubuk fakir miskin yang dihuni sepasang kakek dan nenek. Ia bertamu dan menghibur mereka dengan obrolan agama dan nasehat. Ia memberikan uang yang ada disakunya untuk sekadar membeli beras dan ikan asin lalu menyantap bersama fakir miskin itu sambil akrab bercengkrama. Ia ikut mencuci piring, menyapu atau membantu mereka seadanya. Banyak pasangan kakek nenek menganggap tamunya ini orang aneh. Dandanannya orang kota tapi bertamu ke gubuk di kampung yang dihuni orang tua seperti mereka, mau ngobrol semalaman, memberikan nasehat dan mau tidur beralas tikar. Ada sepasang kakek nenek daerah Bandung selatan yang menyebutnya ‘malaikat’ karena keanehannya itu. Ia sangat merindukan orang aneh ini. Begitu datang lagi, kakek nenek itu memeluknya, menangis, karena merasa seperti kepada anaknya sendiri. Anaknya sendiri malah pada sibuk dikota jarang menemuinya. Begitulah, Ustadz itu lebih merasakan kenikmatan di tempat seperti itu daripada di rumah mewah tapi hawanya ia rasakan panas karena banyak dari uang dan harta mereka didapatkan dengan cara yang kotor dan tidak halal.
Esoknya, jam sembilan pagi, keluarga Pak Hasan dan para tetangga dekat sudah hadir. Setelah segalanya siap, acara akad pun dilangsungkan. Ustadz Ahmad sendiri yang diminta memberikan khutbah nikahnya. Pernikahannya sungguh mengharukan dan yang hadir pada berdecak kagum. Mereka tak habis pikir, bagaimana Pak Hasan menikah lagi dengan istri muda, bukan hanya direstui istrinya bahkan hadir dan mendampingi suaminya. Mereka tak habis pikir bagaimana pernikahan poligami bisa seperti itu. Mereka kagum kepada Bu Hasan bisa semulia itu sebagai istri. Tentu saja itu sebuah pemandangan luar biasa. Akhirnya, semuanya memuji Bu Hasan. Rasa kagum dan salut semuanya mengarah kepada Ibu itu. Ustadz pun mendengarkan semua keluarga dan tetangga memuji kesabaran dan ketabahannya sebagai istri. Ialah yang menjadi ratu dan primadona dalam acara itu. Selesai akad, semua orang menyalami mengucapkan selamat. Kekaguman mengalir kepada Bu Hasan atas kebesaran jiwanya. Ketika yang hadir bersalaman satu persatu, kembali isak tangis terdengar lagi. Sebuah pernikahan yang sangat mengharukan karena tampak tak seorang pun yang hadir tidak meneteskan air matanya.
“Buu… Ibu sungguh luar biasa. Sabar ya buu…. Ibu yang tabah ya Bu ….” Yang lain terdengar mendo’akan, “semoga Bu Hasan diberi kemuliaan di sisi Allah. Ibu…. Saya salut sama Ibu…” “Buu… Ibu sungguh luar biasa… jarang perempuan seperti ibu. Saya do’akan ibu kuat, sabar dan bahagia.” Mereka juga memuji Ustadz Ahmad. Mereka angkat topi pada ustadz muda itu bisa menghatur pernikahan poligami dengan proses sesempurna seperti itu. Seperti tadi malam, pernikahan itu dibanjiri do’a dan air mata oleh semua tamu undangan yang hadir.
* * *
Selesai acara, Ustadz dan keluarga baru itu berkumpul, ngobrol dan makan siang. Sebagian keluarga dan tetangga ada yang ikut ngobrol dan bertanya tentang riwayat pernikahan itu. Mereka penasaran dan tertarik ingin tahu. Sekitar dua jam kemudian, rumah itu sepi kembali. Maklum, yang hadir hanya keluarga dan tetangga dekat saja, jadi tamu tidak banyak. Ustadz Ahmad merasa tugasnya sudah selesai. Ia berpamitan akan pulang. Pak Hasan dan dua istrinya, orang tuanya, keluarganya dan semua orang yang masih ada, otomoatis berdiri semuanya dan mendekati Ustadz Ahmad. Wajah Pak Hasan tampak sumringah. Ia senang sekali. Bu Hasan sudah berkurang bebannya dan ia semakin bisa menerima. Dan Aisyah, sedang sibuk bekerja beres-beres membantu Bu Hasan. Ia masih tampak kaku di rumah itu. Ia masih sedang menyesuaikan diri dan mengatur perasaannya. Maklum, itu di rumah istri tuanya. Tapi, wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesenangannya. Ia tidak menyangka bayangan pernikahannya dengan Pak Hasan terwujud dengan cara penuh maslahat seperti itu. Ini semua tidak terbayang sebelumnya.
Tak berfikir lagi, mereka setuju. Mereka siap melakukannya. Ketiganya segera keluar rumah berjalan kaki beriringan. Sebuah pamandangan yang sangat indah sedang berlangsung. Pihak keluarga semua dan beberapa tetangga menyaksikannya. Sebuah pengantin baru poligami, berjalan bertiga beriringan. Suami diiringi kedua istrinya yang tua dan yang muda, berbusana muslimah, berjalan kaki membagikan shadaqah berkeliling ke tetangga-tetangganya. Ustadz Ahmad tersenyum puas menyaksikan shooting itu. Keluarga yang dirumah pun sama, senang dan gembira dengan pemandangan itu. Mereka semua menyaksikan dengan tersenyum pengantin hangat itu berjalan mesra sedang beramal atas dorongan Ustadz Ahmad. Semua berfikir, pastilah pengantin itu pengantin yang bahagia dan akan terus bahagia.
Setelah selesai semuanya, barulah Ustadz pamitan pulang. Pemandangan haru tak disangka terjadi lagi. Tak tahan “malaikat” itu akan pergi meninggalkan mereka, ketiga pengantin itu tanpa pikir-pikir memeluk Ustadz muda yang duda itu satu persatu sambil menangis. Mereka sangat sedih dengan kepulangannya. Pelukan itu kemudian diikuti oleh seluruh anggota keluarga yang lain, satu persatu. Tetangga-tetangga yang melihat adegan itu di halaman rumah Pak Hasan, kemudian pada datang dan memburu Ustadz muda itu. Mereka juga tidak ketinggalan, semuanya memeluk, sedih, mendo’akan, memuji dan ada juga yang meneteskan air mata.
Ustadz Ahmad segera menenangkan agar tidak sedih berlebihan. Ia menegaskan ia bukan siapa-siapa. Ia hanyalah orang biasa, kenapa harus sedih. Dan, ia pun toh hanya pulang ke sementara, nanti akan datang lagi. Yang datang, sedih, mengucapkan terima kasih dan menangisinya ternyata banyak sekali. Tetangga itu terus berdatangan satu persatu. Apalagi, jama’ah pengajiannya. Begitu mengetahui Ustadznya akan pulang mereka serentak saling memberi tahu, berkumpul dan menemuinya. Ustadz itu serasa menjadi selebriti. Ia merasakan haru dan sedih juga tapi harus pergi.
Ustadz itu mulai berjalan dan terus berjalan diiringi lambaian tangan masyarakat dan jama’ahnya. Ketika ia membalikkan badannya pada jarak sekitar 15 meter untuk melambaikan tangan terakhir sebelum ia belok, ustadz itu kaget juga, yang hadir dan melepas kepergiannya diperkirakan lebih dari seratus orang. “Masya Allah, banyak juga,” pikirnya. Ia terus berjalan.
Sambil berjalan, ia merenung, sungguh tak menyangka akan melewati peristiwa drama mengharukan itu. Semuanya terjadi mengalir begitu saja, diawali ketika Pak Hasan mulai curhat kepadanya. Seperti dalam pengajian-pengajian rutinnya, jawaban-jawaban pemecahan masalah itu datang otomatis begitu saja ke dalam hatinya saat Pak Hasan mulai bertanya mengadukan masalahnya. Sambil terus berjalan,“aaaakhh….” pikirannya menerawang, wajahnya menatap langit, kedua tangannya ia angkat ke atas, menarik nafas panjang, “Yaa Allah, terima kasih. Semuanya Engkau yang mengatur.”[]